Tim UAD Riset Squalene, Pengganti Bahan Adjuvant Vaksin dari Minyak Ikan Hiu
Squalene, Vaksin dan Ikan Hiu
Banyak yang tidak menyadari, bahwa tubuh kita selama ini telah dibantu oleh satwa langka yang hampir punah. Satwa itu adalah ikan hiu. Menurut LIPI (2018), dari semua spesies hiu yang langka, 1 spesies masuk dalam kategori terancam kritis punah (critically endangered), 5 spesies terancam punah, 23 spesies terancam (vulnerable), sementara 35 spesies lainnya masuk kategori hampir terancam (near threat). Bahan yang ditubuhkan oleh tubuh kita tersebut dikenal dengan squalene. Squalene digunakan sebagai bahan baku kosmetika, nutrisi maupun bahan adjuvant vaksin yang penggunaannya selama pandemi sangat mendesak. Produksi konvensional squalene berbahan baku ikan hiu. Karenanya, komponen squalene identik dengan vaksin dan ikan hiu.
Menyedihkannya, untuk mendapatkan squalene, manusia harus membunuh satwa langka. Dikutip dari gridhealth.id, 1 ton squalene didapat dari 3000 ekor hiu. Kandungan squalene dalam satu ampul (vial) vaksin mengandung 10 mg massa squalene. Untuk mencukupi produksi vaksin sebanyak 250 juta, maka dibutuhkan squalene sebanyak 250 ribu ton squalene. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan 250 juta produksi vaksin, maka 7,5 juta hiu harus diburu. Hal ini sangat disayangkan, mengingat populasi habitat hiu langka di Indonesia semakin menurun.
Apabila squalene dari ikan hiu selamanya digunakan sebagai satu-satunya sumber bahan baku adjuvant vaksin dan kosmetik, kondisi tersebut akan memicu perburuan jutaan ekor hiu seluruh dunia. Sudah tentu, kita semua tidak akan rela meninggalkan anak cucu kita di masa depan hanya dengan sepenggal kisah kepunahan satwa indah ini.
Jalan menuju produksi skala lab telah dimulai sebelumnya. Pertama, melalui aktivitas sampling daun bakau. Kedua, isolasi mikroalga di dalam laboratorium UAD. Ketiga, optimisasi medium pertumbuhan. Keempat, kultivasi mikroalga melalui tiga tahap pertumbuhan. Terakhir, analisis komponen biomassa yang dihasilkan.
Langkah ke depan
Karenanya, tim UAD bekerja keras untuk mewujudkan impian membuat teknologi pengganti minyak ikan hiu yang lebih ramah lingkungan. Bahan baku untuk menggantikan proses konvesional tersebut berasal dari mikroalga dari species Aurantiochytrium. Species ini didapat tim UAD dari berbagai hutan bakau di Indonesia, seperti Raja Ampat, Bunaken, Trenggalek, Kepualauan Seribu dan Kulonprogo.
Terbaru, tim riset UAD yang terdiri dari mahasiswa dan dosen dipercaya untuk berkolaborasi dengan sala satu BUMN mengembangkan teknologi ini. Semoga langkah tim riset UAD ini mendukungan kemandirian teknologi industri strategis nasional bidang obat dan kosmetika.